Kebajikan tanpa Memandang Pahala

oleh -9 Dilihat
oleh
Spread the love

Mari hidup dan berkehidupan di dunia ini dengan selalu berpegang teguh melalui ketentuan-ketentuan dari aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Tak pernah sekali pun ada kehidupan yang lebih baik dari pada yang telah diatur olehNya.

Berhentilah untuk selalu mengandalkan kemampuan otak, mari senantiasa untuk berpegang pada keyakinan yang digerakkan oleh iman. Otak harus dipimpin oleh iman, sehingga segala aktivitas diri juga dibawah kendali manajerial dari iman yang selalu tunduk dan bertaqwa tanpa pamrih kepada Allah.

Semua aktivitas yang kelihatan maupun yang tersembunyi, jika dipimpin oleh iman maka akan menghasilkan buah, salah satunya adalah akhlakul karimah.

Mari mengejar dan meraih sayangnya Allah, bukan mengejar besarnya pahala. Sehingga diri terus-menerus dalam melakukan aktivitas atau pun ibadah selalu bersandar dan berpatokan pada hal-hal yang diridhoi olehNya, dan juga tidak menggabungkannya dengan melakukan pula hal-hal yang juga tidak diridhoiNya.

Mungkin kita pernah mendengar atau melihat kejadian orang yang rajin sholat, rajin berpuasa, mengeluarkan zakat, memotong hewan kurban tiap tahun, rajin naik haji dan umrah tapi beberapa tahun atau bulan menjelang kematiannya, bahkan sampai pada akhir sakratul mautnya mengalami penderitaan yang luar biasa. Kenapa hal tersebut bisa terjadi, sedangkan dilihat secara logika orang ini pasti sangat banyak pahala dari perbuatan baiknya atau hasil ibadahnya ?

Berkemungkinan besar biasanya orang-orang tersebut mempunyai akhlak yang kurang terpuji. Akhlak yang kurang terpuji tersebut, diantaranya: mempersekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, suka mengambil sesuatu yang bukan haknya, sering menyakiti orang lain, suka mempermalukan orang lain di depan umum, berzinah, berjudi, minum khamar, melakukan sihir, berteman dengan jin (kafir dan muslim), kurang bersedekah (kikir), sombong, riya’, takabur, selalu merasa lebih tinggi dan lebih hebat dari orang lain, tidak membantu anak yatim, dan sebagainya.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (saja) mengatakan, kami telah beriman, sementara mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut: 2).

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”. (QS. Al-Jin : 6)

”Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman): Hai golongan jin, sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golongan manusia: Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami. Allah berfirman: Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui” [QS. Al-An’am: 128].

Setelah diri rajin beribadah dengan shalat, puasa, mengeluarkan zakat dan seterusnya maka dapatlah digolongkan orang yang menuju beriman. Tapi jangan lupa, karena setelah itu maka diri diuji lagi. Ujian apa ? Tentu tiada lain, adalah bagaimana akhlak dalam hidup dan kehidupan sehari-hari. Bagaimana kalau tidak lulus dalan ujian ? Tentu adalah gagalnya diri dalam menyandang predikat beriman.

Begitu pula halnya berteman dengan jin (kafir maupun muslim). Untuk apa berteman dengan jin ? Berkemungkinan besar untuk berharap atau meminta pertolongan. Padahal Allah telah melarang manusia meminta pertolongan pada jin.

Ketika diri dalam melakukan sesuatu, tidak bersandar pada besarnya pahala tapi bersandar bahwa hal tersebut disenangi Allah, maka berpeluang besar diri melakukannya dengan ringan dan tidak memaksakan diri yang dapat berujung ternodanya nilai keikhlasan.

Mari memaksimalkan diri untuk senantiasa berbuat baik dan menghindari perbuatan tidak baik tanpa memperhitungkan diri ini mau masuk surga atau neraka, tapi lebih berpatokan bahwa perbuatan diri ini tidak dibenci oleh Allah SWT. Dan marilah untuk senantiasa berprasangka baik padaNya, karena Allah mustahil berbohong dan Allah maha benar dengan segala firman-firmanNya.

Dikhawatirkan jika seseorang terlalu bernafsu mengejar besaran pahala, maka dia terjerambab ke lembah dosa.

Illustrasi: melakukan ibadah haji di tanah suci mekkah, itu sangat besar pahalanya bahkan surga imbalannya. Nah, jika diri ini bernasib miskin dan sangat bernafsu melakukan ibadah haji karena mengejar besaran pahala. Sehingga, siang malam berupaya keras dengan mengumpulkan uang halal serta dibantu doa yang terus-menerus. Tapi jangan lupa bahwa dalam proses pengumpulan uang yang berbarengan dengan doa yang terus-menerus, ada pula ujian Allah menyertainya. Sekiranya beberapa kali diri berhasil mengumpulkan uang, tapi beberapa kali pula habis karena satu dan lain hal (termasuk ujian Allah). Akhirnya, dengan keterbatasan sebagai manusia biasa, sehingga diri khilaf lalu kecewa dan serta merta menyalahkan Allah. Akhirnya diri terjerembab ke dosa yang sangat besar, telah menyalahkan Allah karena merasa tidak dibantu.

Cara kerja Allah itu sangat misterius, dan otak tidak mungkinlah mampu menyelaminya. Allah SWT berhak berbuat apa saja yang dikehendakiNya. Allah berhak mengubah syetan (makhluk kafir) menjadi muslim, juga berhak mengubah ahli ibadah menjadi kafir dan terkutuk. Seperti halnya, syetan yang bersemayam di dalam dada Rasulullah Muhammad SAW yang telah diubahnya menjadi muslim. Seperti pula halnya, iblis (makhluk yang dahulunya sangat taat beribadah) diubahnya menjadi kafir dan terkutuk.

Mari meraih sayangnya Allah, dengan menyayangi sesama makhluk. Mari berprasangka baik kepada Allah, dimulai dengan berprasangka baik kepada sesama manusia.
(Wallahu A’lam Bis-Shawabi) Gowa, 17 Agustus 2020
SYAHRIR AR

No More Posts Available.

No more pages to load.