Oleh Penulis : Basrin Ombo, S.Ag., M.HI
Fenomena penyimpangan seksual sudah muncul jauh sebelum masa nabi Muhammad SAW., yakni pada masa nabi Luth as. yang diutus untuk kaum Sadoum. Hampir semua kitab tafsir mengabadikan kisah tersebut ketika menyingkap kandungan ayat-ayat yang berkaitan dengan kisah nabi Luth as. Namun demikian, yang terjadi pada dasawarsa dan di masa modern ini baik di Indonesia maupun dunia internasional dalam menyikapi nafsu seksual tersebut sangat memprihatinkan.
Wanita tidak merasa malu lagi ketika berpakaian minim dan para pria tidak lagi merasa ragu atas penggunaan jasa prostitusi. Bahkan, apa yang terjadi pada kaum Sodom yakni “homoseksualitas” (gay maupun lesbi) sudah menjadi hal yang biasa. Lebih ironi lagi, di beberapa negara homoseksual sudah menjadi budaya bahkan dilindungi dengan kekuatan politik terhadap kasus pernikahan sejenis.
Pernikahan sejenis atau biasa disebut homoseksual secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yakni homoios berarti sama. Dari bahasa Latin, sexus berarti jenis kelamin. Hal ini merupakan pengertian umum mencakup banyak macam kecenderungan seksual terhadap kelamin yang sama, atau secara lebih halus, suatu keterarahan kepada kelamin yang sama (homotropie; tropos yang berarti arah, haluan).
Istilah homoseksualitas tampak terlalu menekankan aspek seksual dalam arti sempit. Maka dianjurkan menggunakan istilah homophili (philein berarti mencintai). Sedangkan definisi umum adalah seorang homophil ialah seorang pria atau wanita, tua atau muda, yang tertarik atau jatuh cinta kepada orang yang berjenis kelamin sama, dengan tujuan mengadakan persatuan hidup, baik untuk sementara maupun untuk selamanya. Dalam persatuan ini, mereka mengahayati cinta dan menikmati kebahagiaan seksual yang sama seperti dialami oleh orang heteroseksual.
Perilaku homoseksual adalah perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis, yang bila terjadi pada kaum wanita sering disebut “lesbi” dan bila terjadi pada laki-laki disebut “gay”. Homoseksualitas sudah sering terjadi sepanjang sejarah umat manusia, reaksi berbagai bangsa di berbagai kurun waktu sejarah terhadap homoseksualitas ternyata berlainan.
Dalam praktik sulit membagi orang kedalam dua kelompok: homoseksual dan heteroseksual, keduanya merupakan dua kutub yang ekstrem. Banyak masyarakat yang memandang heteroseksualitas sebagai perilaku seksual yang “wajar”, sedangkan homoseksualitas secara tradisional dipandang sebagai gangguan mental. Homoseksualitas dapat meliputi sejumlah hal, seperti kecenderungan, aktivitas, status, peran, atau konsep-diri.
Dalam masyarakat yang sudah lebih toleran, secara geografis terdapat subkultur homoseksual beserta aneka pranatanya. Komunitas ini memiliki sistem nilai, teknik komunikasi, dan pranata-pranata suportif maupun protektif yang bersifat unik dan eksklusif. Namun di Indonesia kita belum pernah mendengar adanya komunitas semacam ini. (Ann Landers: Problema dan Romantika Remaja, 1983).
Faktor penyebab terjadinya homoseksualitas bisa bermacam-macam, misalnya karena kekurangan hormon lelaki selama masa pertumbuhan, karena mendapat pengalaman homoseksual yang menyenangkan pada masa remaja atau sesudahnya, karena memandang perilaku heteroseksual sebagai sesuatu yang menakutkan atau tidak menyenangkan, ataupun karena besar di tengah keluarga dimana ibu lebih dominan daripada sang ayah atau bahkan tidak ada. (Moertihko: Transeksual dan Waria. t.th)
Banyak kalangan menanggapai secara ovensif perihal pembedaan gender dan pembedaan orientasi seksual. Homoseksualitas mengacu kepada: 1) Orientasi seksual yang ditandai dengan kesukaan seseorang dengan orang lain mempunyai kelamin sejenis secara biologis atau identitas gender yang sama. 2) Perilaku seksual dengan seseorang dengan gender yang sama tidak peduli orientasi seksual atau identitas gender. 3) Identitas seksual atau identifikasi diri, yang mungkin dapat mengacu kepada perilaku homoseksual atau orientasi homoseksual.
Dalam perkembangannya pun homoseksual diartikan sebagai hubungan seksual antara orang-orang yang berkelamin sejenis, baik sesama laki-laki maupun sesama perempuan.
Islam telah mengatur bahwa tujuan perkawinan adalah mewujudkan keluarga yang “sakinah, mawaddah, warahmah”. Pernikahan adalah ikatan suci antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang dilandasi pada agama dan keyakinan dengan disaksikan oleh kedua orang tua dan saksi-saksi.
Secara etimologi pernikahan adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah. Kata tersebut berasal dari bahasa Arab yaitu kata nikah (النكاح ) “perjanjian perkawinan”. Arti lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (نكاح) yang berarti persetubuhan, sedangkan menurut istilah adalah upacara pengikatan janji nikah. Upacara pernikahan memiliki ragam/ variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Dalam Islam, syarat sah pernikahan penting sekali terutama untuk menentukan sejak kapan sepasang pria dan wanita itu dihalalkan melakukan hubungan seksual sehingga terbebas dari perzinaan.
Di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hukum Islam sangat memengaruhi sikap moral dan kesadaran hukum masyarakatnya. Pernikahan yang dianggap wajar dalam masyarakat adalah pernikahan “heteroseksual”, maka tidaklah salah ketika pernikahan “homoseksual” banyak mendapat kontroversi dalam masyarakat karena dianggap aneh serta menyimpang dari hukum syara’, bahkan pelakunya bisa disebut “Sakit Jiwa”.
Homoseksual atau lesbian itu adalah sebuah penyakit di mana para pelaku melampiaskan kebutuhan seksualnya tetapi tidak pada hal yang sewajarnya, mereka melakukanya tidak pada lawan jenis tetapi sesama jenis. Biasanya perilaku itu muncul karena lingkungan yang sudah membentuk pola pikiran mereka untuk melakukan tindakan penyimpangan itu. Semoga kita dijauhkan dari perilaku penyimpangan tersebut sehingga tidak dianggap “SAKIT JIWA”.